Selasa, 22 April 2008

KEMISKINAN DESAKU

Desa yang kucinta, pujuaan hatiku, tempat ayah dan bunda dan handetolanku ?.....

Senandung yang indah dan merdu ”desaku” tak mampu lagi menembangkannya atau melafalkannya dalam pikiran (tidak hapal) dan dari sebagian anak-anak bangsa, mungkin muncul suatu pernyataan, apakah keberadaan desa saat ini telah menjadi anak tiri dalam pikiran dan lingkup pembangunan nasional ataupun pemimpin bangsa ?.

Kesenjangan kota dan desa tak mampu lagi dielminir sehingga muncul pengkotomian kota dan desa, dimana desa terasa terpinggirkan dari prasarana-sarana yang seharusnya menjadi primadona pembangunan sebagai penunjang mobilitas peningkatan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat di perdesa, kondisi ini berimbas (multyplayer efek) pada tingkat pendidikan rendah, kesehatan yang buruk, akses kredit usah perbankkan dan informasi dan lain-lainnya, yang tidak pernah bersinggungan dengan masyarakat desa.

Hal tersebut sangat menyayat dan menyesakkan hati apa yang kita lihat dan dengar, dimana kemiskinan para buruh tani/petani mengharapkan uluran tangan pemerintah membeli harga padi kering dengan harga yang tinggi, namun apa yang terjadi, pemerintah menawar dengan harga sangat rendah, sehingga para petani menahan produk mereka ke dalam lumbung-lumbung padi, dengan harapan suatu saat pemerintah akan membili harga padi sesuai jeripayah para petani. Kenyataan sangatlah pelik, pemerintah lebih mengutamakan impor beras dari negara Vietnam, yang konon harganya lebih murah. Apabila terjadi perubahan kenaikan harga pangan sedunia, apakah harga beras dari negara Vietnam akan lebih murah dari hasil para buruh tani/pak tani?.

Yang menjadi permasalahannya adalah mengapa karya anak negeri tidak pernah diterima di negerinya sendiri ?.

Dengan penetapan atau mematok harga padi kering begitu rendah dari petani, pemerintah dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan para petani/buruh tani ?, atau dengan mengimpor beras pemerintah dapat menyelesai pemasalahan kemiskinan para petani/buruh tani ?, lambat laun hal ini terjadi, sehingga para buruh tani/petani berpindah ke akhli profesi tanpa pengetahuan dan keakhliannya dan terjebak dalam kemiskinan.

Manusia yang seharusnya sebagai makluk sosial untuk berinteraksi dalam kesosialannya tidak bisa menjawab filsafat tersebut, suatu contoh kasus dalam program pemerintah, mengapa pemberian sosial kepada masyarakat dari pemerintah, harus membutuhkan tahapan atau proses yang panjang dan berbelit-belit, dengan melakukan musyawara berulang-ulang, tanpa melihat keberadaan masyarakat sebagai pelaku ekonomi dalam mencari pendapatan dan memperpanjang kehidupan nya.

Pada saat APBN 2008 mengalokasikan 54 triulyan bagi pementasan kemiskinan di desa dan kota, apakah dana tersebut akan sampai ke masyarakat, sesuai dengan besaran tersebut, angka tersebut adalah bruto, yang menjadi pertanyaan apakah dana tersebut bersumber dari APBN 2008 murni atau dana pinjaman dari lembaga donor (world Bank) ?, dalam merangasan atau mengembangan pembangunan di masyarakat miskin perdesaan melalui ”dana pinjaman” akan menuai keberhasilan atau badaikah, hal itu adalah hal mustahil dan tidak sesuai dengan akal sehat selaku makluk tuhan yang sosial dan berakal.

Desa adalah suatu tempat yang kita cintai, yang akan membawa kita ke dalam kenagan indah, dimana kita di lahirkan dan dibesarkan, menghirup udara yang sejuk dipagi hari, melihat keramahan penduduk bertegur sapa, dan bercerita masa lalu yang tak ada dan tak mudah untuk menceraikan penduduk dengan desa yang permai. Kini desa menjadi kanal-kanal bencana banjir, kelaparan, dan kemelaratan, kriminal penebangan liar, sehingga muncul suatu anggapan ”mungkin desa taknyaman lagi untuk dihuni”, tidak ada lagi udara sejuk, penduduknya tak ramah, komunikasi merupakan suatu sisi dari interaksi sosial tak lagi di temuai, terkikisnya nilai-nilai potensi sosial (gotongroyong) atau yang lebih yahut lagi kita dengar partisipasi mulai luntur. Sebagai langkah pembenarannya dari kondisi demikian adalah Urbanisasi (desa ke kota), sehingga terjadi penyebaran kemiskinan di perkotaan dan tingkat kriminalitas yang tinggi pula berada diperkotaan.

Saat ini desa menjadi kanal-kanal banjir, kriminalitas dan penebangan liar yang disokong oleh pemilik modal dan kekuasan, dengan menjual atau mengkomersialkan potensi alam desa untuk mendapatkan keuntungan segelitir kelompok atau instansi.


Tatok Pangalinan, 21 April 2009

Tidak ada komentar: